JAGAT BATIN SULTAN AGUNG

RINCIAN BUKU

Judul Buku                  : JAGAT BATIN SULTAN AGUNG (Biografi, Peranan, Laku Spritual, dan Ajarannya)

Penulis                         : Abimana Gumelar

Penerbit                       : Laksana

Tahun                           : 2024

ISBN                             : 978-623-327-501-9

Jumlah Halaman         : 218

Sultan Agung, bukan hanya sebagai raja ketiga Kerajaan Mataram, yang berhasil meraih puncak kejayaannya, melainkan juga mengetahui peranannya dalam pengembangan seni dan budaya, seperti sistem penanggalan Jawa, seni bangunan keraton, pembangunan Astana Imogiri, dan perkembangan sastra. Sultan Agung lahir di  daerah Mataram sekarang Yogyakarta tepatnya di Kota Gede tahun 1593. Lahir dari pasangan Panembahan Hanyokrawati dengan Dyah Banowati, putri Pangeran Benawa, Putra Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Nama kecilnya ialah Pangeran Jatmiko atau RM Jatmiko, dengan panggilannya Raden Mas Rangsang (yang bermakna memiliki watak yang penuh kemauan serta keinginan keras yang tak kunjung padam). Sultan Agung dinobatkan sebagai raja pada tahun 1613 saat berusia sekitar 20 tahun, dengan gelar ”panembahan”secara bahasa berarti yang disembah.

Kemudian tahun 1624, ia mengubah gelarnya menjadi ”susuhunan”, berasal kata suhun bermakna dipunji (ditaruh di atas kepala). Lantas tahun 1641, Sultan Agung mendapat pengukuhan di Makkah sebagai sultan, sehingga gelarnya menjadi Sultan Agung Hanyokrokusumo Senopati Ing Alogo Ngabdulrahman (artinya raja yang agung, pangeran sakti, panglima bandayuda, dan pemangku amanah Tuhan yang maha Kasih). Sebagai raja Mataram, Sultan Agung menunjukkan identitasnya sebagai seorang muslim Jawa. Yang taat menjalankan ajaran islam, tetapi juga tidak ingin melapaskan identitas kejawaannya yang dijadikan modal memerintah Kerajaan Mataram sebagai kerjaaan Islam terbesar di Nusantara, yang sebagaian besar rakyatnya beragama Islam mempunyai karakter dan budaya lokal yang kuat.

Peranan  Sultan Agung dalam pengembangan agama Islam, bisa dicermati pada bidang pendidikan, yaitu adanya lembaga pendidikan berupa pondok pesantren dan langgar. Sedangkan, dalam bidang politik, melalui ekspedisinya, Sultan Agung menaklukkan pusat-pusat pengajaran Islam di pesisir utara Jawa. Istimewanya, dalam penyebaran Islam, untuk mengurangi sengketa antarpaham, Sultan Agung menggalakkan syiar kejawen dan sufisme Jawa dalam dakwahnya.Laku tirakat Sultan Agung, seperti gemar bertapa dan mengembara (misalnya, tapa brata di Gunung Girilaya); menikah dengan Kanjeng Ratu Kidul; mengikuti pengajaran Suluk Wujil dari Sunan Bonang; berguru kepada berkenalan dengan Sunan Kalijaga dan Imam Syafi’i; dan lain-lain.

Tentang ajaran-ajaran Sultan Agung dalam beragam karyanya, seperti Sastra Gending memaparkan  tentang keserasian hubungan antara jagad gumelar (makrokosmos) dan jagad gumulung (mikrokosmos). Sastra Gendhing juga mengajarkan tentang budi pekerti luhur , mistik, serta keselarasan lahir batin dan awal akhir. Sastra Gendhingpun memuat tentang hal-hal gaib (ketuhanan), asal dan tujuan manusia diciptakan , tembang kawi, sastra Arab, teologi, tauhid serta tauhid. Serat Nitipraja berisi berbagai ajaran, terkait kepemimpinan. Dalam memimpin suatu pemerintahan, seorang pemimpin membutuhkan sikap religius dan humanitas. Surya Alam berisi kumpulan perundangan-undangan yang membuktikan kebesaran Sultan Agung sebagai negarawan, yang merupakan hasil perpaduan budaya Islam dengan adat Jawa, dan Serat Kekiyasaning Pangracutan merupakan karya yang menjadi sumber penulisan Wirid Hikayat Jati yang dikarang oleh R. Ng Ronggowarsito. Berisi beberapa pedoman perilaku yang baik untuk menghadapi kematian. Di dalamnya, menjelaskan tentang seluk beluk kematian sekaligus cara-cara mempersiapkan diri dalam menghadapi kematian yang sempurna.  Daria karya dan ajaran-ajaran karya Sultan Agung tersebut sarat makna dan nilai, yang bisa diteladani dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh Tugiman