Adab di Atas Ilmu

Resensi buku Adab di Atas Ilmu 4 (Etika Fatwa, Pemberi Fatwa, dan Peminta Fatwa)

Oleh : Arofah Bahtiar

 

 
                 Judul

 

 

                 Pengarang

 

Penerbit

 

Tebal

                Ukuran

 

Harga

 

Adab di Atas Ilmu 4 (Etika Fatwa,

Pemberi Fatwa, dan Peminta

Fatwa)

Imam Nawawi

DIVA Press 2023

120 halaman

14×20 (cm)

Rp. 50.000

 

Berbeda dengan cetakan pertama, kedua dan ketiga, buku adab di atas ilmu bagian 4 ini lebih difokuskan pada pembahasan fatwa, orang berfatwa dan orang yang memeinta fatwa. Pada awal buku ini kita disuguhi dengan biografi tiga ulama yang pernah mengarang “Adabul fatwa, wal mufti wal mustafti”. Ulama yang pertama yaitu Abu alQasim ash Shaimari, nama lengkap beliau ialah Abdul wahid bin Al-Husain bin Muhammad, yanf merupakan seorang qadhi (hakim), dan juga salah satu pemuka, syekh, dan ulama Mazhab Syafi’i.

Ulama kedua pengarang “Adabul fatwa, wal mufti wal mustafti’ adalalah Al-Khatib al-Bagdadi yang bernama lengkap Abu Bakar Ahmad bin Abu Hasan Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi Al-Khatib al Bagdadi. Ia dilahirkan pada hari Kamis pecan terakhir Jumadil Akhir 392 Hyang bertepatan dengan tahun 1002 M. Sedari kecil beliau sudah belajar hadits dan di usianya remaja beliau belajar di Basrah dan kemudian melanjutkan belajarnya di Suriah. Karya tulis Al-Khatib al-bagdadi pun jumlahnya lebih dari 60 kitab salah satunya adalah “Adabul fatwa, wal mufti wal mustafti’, beliau wafat pada hari Senin, 7 Dzulhijjah 463 H.

Pada urutan ketiga dari ulama pengarang kitab ini adalah Abu Amr Ibn ashShalah yang bernama lengkap Abu Amr Taqiyyuddin bin Shalahuddin bin Abdurrahman bin Utsman bin Musa al-Kurdi asy-Syahrazuri asy-Syarakhani al-Mushili asy-Syafi’i. Beliau lahir pada 577H/1181 M di syarakhan, suatu desa yang terletak di Syahrazur, di samping kota Irbil negara Irak bagian selatan. Pada mulanaya beliau belajar di Syahrazur, kemudian pergi ke Maushul,dan setelah itu hijrah ke berbagai kota Islam seperti Khurasan, Suriah dan kemudian bermukim di Damaskus.

Kemudian pada pertengahan buku ini disuguhkan syarat menjadi seorang Mufti selain memiliki sifat wira’I dan shalih juga di sebutkan syaratnya 1. mukallaf, 2. beragama Islam, 3. dapat dipercaya, 4. shalih, 5. menjauhi perilaku yang dapat menurunkan wibawa, 6. seorang yang cerdik, 7. memiliki ingatan yang sempurna, 8. memiliki pikiran yang tenang, 9. berkelakuan yang baik, 10. memiliki kemampuan istinbat dengan baik, 11. memahami keperluan setiap orang yang meminta fatwa kepadanya. Kemudian pada bagian akhir bab pada buku ini menjelaskan bagaimana adab, sifat, serta hukum sebagai mustatafti (orang yang meminta fatwa) kepada mufti, yang harus diperhatikan juga oleh banyak orang yang kerap sekali meminta fatwa, agar mempunyai pengetahuan adab dalam meminta adab kepada mufti, dan juga tidak sembrono dalam meminta fatwa kepada sembarang orang.

Kitab tentang adab orang yang berfatwa dan yang meminta fatwa karya Imam anNawawi ini tidak hanya berisi hukum-hukum agama, tetapi juga berisi hal-hal yang dibutuhkan oleh orang yang bertanya (mustafti) ataupun orang yang ditanya (mufti). Contoh pada masa ini ialah orang yang pekerjaannya menjawab pertanyaan yang diajukan.

Orang-orang yang berkecimpung pada pekerjaan seperti itu mendapatkan manfaat dan jawabannya dari kitab ini. Selain itu, dalam kitab ini juga ada berbagai tambahan materi lain yang juga dibutuhkan oleh yang bekerja pada bidang pengadaan kontrak perjanjian dan pembuatan bukti pembayaran. Mereka dapat pula mendapatkan manfaat dari kitab ringkas kaidah-kaidah dasar ini untuk pekerjaan mereka.

Buku ini diawali pembahasan tentang betapa penting, mulia, terhormat, serta agungnya orang yang berfatwa. Berikutnya, disebutkan tentang tiga hal terkait dengan fatwa, yaitu mengenai siapa saja orang yang pantas berfatwa, wajibnya seorang mufti untuk wira`i serta religius, dan syarat seseorang dapat menjadi mufti.

Menurut saya kelebihan buku ini dari segi bahasa penyampaiannya sangat mudah difahami oleh orang awam seperti kita, karena dari kata atau bahasa kitab aslinya sudah diterjemahkan dengan bahasa yang begitu ringan, ringkas, singkat dan jelas, yang jika kita hanya tahu terjemahnya saja dari kitab aslinya mungkin masih harus membutukan pemahaman dari seorang guru yang ahlinya. Kemudian dalam buku ini sayangnya tidak ada sejarah singkat asal usul mufti itu sendiri atau sejarah singkat munculnya mufti dan mungkin bisa menyebutkan mufti pertama kali dalam sejarah islam, dan mungkin juga jika diberikan contoh adab seorang mufti dalam bentuk cerita buku ini akan terlihat lebih bagus dan menarik.