Sekolah Dibubarkan Saja!

  • Identitas Buku

Judul Buku                : Sekolah Dibubarkan Saja!

Penulis                      : Afdillah Chudiel

Tebal Buku               : xxii + 159 halaman

Penerbit                     : Jalan Baru

Tahun Terbit             : 2019

ISBN                           : 978-623-90739-0-9

 

  • Sinopsis

Sekolah dibubarkan saja dalam buku karya seorang mahasiswa lulusan S2 studi Ilmu Lingkungan (Chu-diel) ini merupakan catatan kehidupannya saat beraktivitas diberbagai pelosok negeri. Ia menceritakan tentang kecacatan sistem pendidikan Indonesia yang hanya bisa mengajar teori buta namun tak bisa mendidik tentang realita. Karena buku ini diambil berdasarkan catatan kehidupannya Chu-diel, penggunaan bahasa, diksi, dan juga pembahasannya mudah dimengerti oleh orang yang juga tidak berlatar belakang pendidikan atau guru.  99 % dari buku ini dirangkai dengan banyak bagian bab yang membahas tentang kecacatan pendidikan Indonesia, sedangkan 1% dari buku ini membahas tentang solusi yang ditawarkan oleh Chu-diel sendiri tentang permasalah yang sudah dipaparkannya tersebut.

 

Masalah-masalah pendidikan yang dipaparkan oleh Chu-diel sendiri salah satunya adalah bagaimana seorang murid sekolah dasar putus sekolah karena menganggap sekolah tak bisa mengajarkan apa yang ia butuhkan, Chu diel menamai bagian bab ini dengan sebutan anak beruntung. Ya, beruntung karena anak ini sudah bisa memahami bakatnya pada usia dini, dan memilih untuk berhenti sekolah karena sekolah tak bisa mengajarkan/mendidik bakat yang ia miliki.

 

Bagian bab anak beruntung ini dilanjutkan oleh bagian bab yang berjudul sekolah dibubarkan saja. Bab ini menceritakan tentang bagaimana murid-murid di sekolah pada akhirnya juga harus belajar di bimbel karena sekolah mereka tak bisa memberikan pemahaman. Kepecundangan sekolah pada bab ini makin terlihat, memang pembaca yang berlatar belakang guru seperti saya agak kurang setuju dengan Chu-diel, karena berpikir meskipun tidak ada sekolah, anak-anak Indonesia pasti akan menempuh pendidikan mereka dimanapun itu berada. Tapi, buku ini rupanya makin mempaparkan fakta-fakta kecacatan sistem pendidikan pada bagian bab berikutnya, yang mau tak mau harus kita hadapi kalau sebagian besar sekolah di Indonesia memang gagal mendidik anak-anak Indonesia.

 

Seperti pada bab “sistem pendidikan Indonesia itu aneh” yang membahas tentang bagaimana seorang anak SMA mengalami kecurangan saat menghadapi ujian nasional, bab “sekolah membunuh minat siswa” membahas tentang bagaimana sekolah hanya mensortir murid kedalam dua bagian yaitu IPA dan IPS, kemudian bab “orang miskin dilarang masuk sekolah” membahas tentang bagaimana sekolah memiliki wajah ganda terhadap orang miskin yang bersekolah, seolah merujuk pada tanda tanya eksis sebagai sebuah “pabrik”.

 

Dari kesuluran bab, yang paling menarik perhatian saya adalah bab “pesta pora yang menyedihkan”, dimana Chu-diel memaparkan hasil wawancaranya dengan seorang murid SMA yang harus membayar 10 juta rupiah untuk membeli kunci jawaban ujian nasional. Sebuah pemaparan luar biasa dan sangat bermakna bagi murid-murid di luar sana yang mungkin masih bingung tentang bagaimana mereka bisa mendapat kunci jawaban ujian nasional secara gratis, dan juga bagi kita para guru yang mungkin tidak tahu sistem kecurangan ujian nasional ini.

 

Buku ini sebenarnya hanya bertujuan untuk mempaparkan alasan-alasan efektif mengapa sekolah harus dibubarkan, jadi Chu-diel tidak memfokuskan pembahasannya pada solusi.

 

Namun, ada juga solusi yang dipaparkan oleh Chu-diel, solusi yang sebenarnya sudah banyak kita dengar dari para pakar pendidikan. Solusi-solusinya berupa tiga buah teori, teori pertama yaitu berasal dari karya Tetsuko Kuroyanagi, sebuah teori bagaimana seorang kepala sekolah tidak menjadikan muridnya sebagai objek pendidikan melainkan subjek pendidikan. Teori yang kedua yaitu teori yang berasal dari seorang psikolog yang bernama Kurt Lewin, ia menyatakan kalau proses belajar mengajar yang baik itu melingkupi tiga aspek, yaitu aspek pengetahuan, afektif, dan psikomotorik. Kemudian, teori yang terakhir berasal dari Malcolm S. Knowles yang menyatakan kalau proses belajar mengajar yang baik itu harus melibatkan respect, immediacy, dan juga relevansi.

 

Buku Sekolah Dibubarkan Saja adalah buku yang berat, namun ringan. Ia mampu menyuarakan apa-apa yang selama ini mungkin kita paksa untuk dipendam saja. Hal-hal yang selama ini salah namun kita anggap biasa, karena memang sudah terbiasa dengan hal-hal yang jelas salah secara nurani dan logika. Meskipun di satu sisi saya tidak menampik atas kehadiran rasa khawatir munculnya golongan murid/pelajar yang membangkang setelah membaca buku ini. Sebaliknya, saya sangat berharap melalui buku karya Chu-diel ini akan tercipta agen-agen di institusi pendidikan yang berkenan berkaca untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik kedepannya. Baik itu pejabat di pemerintahan, tenaga pengajar, para pelajar dan para orangtua pun sangat dipersilakan untuk membaca. Adanya berbagai warna pikiran seperti ini sudah seharusnya diapresiasi, karena kritik adalah salah satu bentuk masih adanya rasa perhatian dan peduli. Bukan justru menjadikan kita sosok-sosok yang apatis dan membenci mimbar kritisi. Karena jika tidak, kapan kita tergerak untuk berbenah menjadi lebih baik lagi?

 

Meskipun solusi tidak di bahas secara rinci, tapi buku ini bisa meyakinkan saya kalau sistem pendidikan Indonesia memang harus direnovasi, mungkin ungkapan ini lebih tepat diutarakan daripada sekolah harus dibubarkan.

 

  • Kelebihan Buku

Buku ini sangat cocok bagi pembaca yang ingin mendapatkan pengetahuan singkat mengenai kecacatan-kecacatan sistem di Indonesia, dengan gaya bahasa yang santai dan tidak berat sehingga sangat mudah untuk dipahami sekalipun pembaca bukan merupakan seorang yang berlatarbelakang pendidikan atau guru.

 

  • Kekurangan Buku

Terlalu banyak istilah kedaerahan yang digunakan dalam buku ini, sehingga bagi pembaca yang tidak satu daerah dengan penulis, harus berhenti sejenak mencari makna sesungguhnya dari kata tersebut, serta solusi yang ditawarkan sangat sedikit meskipun memang kritik tidak selamanya diiringi dengan saran atau solusi

Oleh : Faiz Nafiri