AK DI KA’BAH, DI VATIKAN, ATAU DI TEMBOK RATAPAN TUHAN ADA DI HATIMU
RESENSI BUKU
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : TAK DI KA’BAH, DI VATIKAN, ATAU DI TEMBOK RATAPAN
TUHAN ADA DI HATIMU
Pengarang : Husein Ja’far Al-Hadar
Penerbit : Penerbit Noura Books
Tahun Terbit : 2020
Cetakan : I, Januari 2023
Tebal Buku : 235 halaman
ISBN : 978-623-242-353-4
PEMBUKAAN
Husein Jafar Al-Hadar atau akrab dipanggil Habib Ja’far adalah keturunan Nabi Muhammad SAW generasi ke-38. Terkait pendidikan, Habib Ja’far pernah menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Bangil, Jawa Timur. Beliau juga merupakan seorang Sarjana Filsafat Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Habib Ja’far kemudian melanjutkan pendidikannya mengambil program magister Tafsir Qu’ran di universitas yang sama. Dikenal sebagai pendakwah, Habib Husein Jafar ternyata merupakan Direktur Akademi Kebudayaan Islam Jakarta dan Aktivis di Gerakan Islam Cinta.
Dakwah Habib Husein Ja’far adalah dakwah “Islam Cinta.” Kenapa Islam Cinta? Menurutnya, generasi milenial sekarang jika bukan generasi yang tak acuh pada Islam karena dianggap kaku dan ribet, ya generasi hijrah. Nah, Islam Cinta ini solusi sekaligus untuk dua generasi tersebut. Islam itu sejatinya penuh cinta bagi generasi tak acuh itu, dan memperdalam pemahaman Islam bagi generasi hijrah, karena Islam Cinta mengajak pada tasawuf yang merupakan aspek terdalam dalam Islam.
SINOPSIS
Saat pandemi Covid-19 lalu tiba-tiba Ka’bah sepi. Tak ada orang tawaf. Hanya ada tukang bersih-bersih yang ditugaskan mengepel pelataran Ka’bah. Saat semua orang, sekaya apapun, bahkan para Pangeran Kerajaan Arab Saudi, dilarang ke Ka’bah lantaran pandemi. Bukan hanya Ka’bah, tapi Vatikan, dan Tembok Ratapan juga sepi. Artinya bukan hanya umat Islam, tapi umat agama lain juga seharusnya berpikiran sama bahwa sejatinya Tuhan ada di hati.
Kutipan dari puisi sufi besar, Jalaluddin Rumi dalam Matsnawi, Kitab 4, Bab Kisah Nabi Sulaiman dan Masjid Aqsa : “Aku mencari Tuhan di masjid, gereja, dan kuil. Tapi aku menemukan-Nya di hatiku.” Dimanakah Tuhan? Dia di mana-mana! Allah berfirman, Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 115). Idealnya, seperti para sufi, menghadap ke mana pun, disana kita melihat kebesaran Allah, sehingga kita menyebut nama-Nya. Bukan hanya di Ka’bah, tapi juga di gubuk orang miskin.
Kalau Nabi Sabdakan bahwa “bumi ini semua masjid”, yang terpikir dalam benak beliau (Habib Husein Ja’far) bukan keberadaan Tuhan di bangunan kubah yang kita sebut masjid itu, tapi dimana saya melihat Tuhan dan menyebabkan saya bersujud pada-Nya, disanalah masjid. Ka’bah pun, meski ia disebut “Rumah Allah” (Baitullah), bukan berarti Dia benar-benar berumah di sana. Dia tak bertempat. Menganggap Ka’bah benar-benar “Rumah Allah” bisa berarti memberhalakan Ka’bah. Padahal Ka’bah dibuat sebegitu tak estetisnya (kubus, hitam, tanpa ukiran dan sentuhan seni apa pun) justru agar tak diberhalakan. Ka’bah hanya kiblat yang ditunjuk oleh Allah untuk menjadi penanda arah saat kita bersujud. Toh,sebelumnya kiblat umat Islam adalah Masjid Al-Aqsa. Maka, sejatinya Tuhan itu di hati kita. Seorang yang diliputi oleh ketaatan dan cinta atas-Nya, kemana pun ia menghadap, ia melihat-Nya. Masjid bisa dirobohkan, Ka’bah bisa sepi, tapi hati manusia yang beriman akan abadi dalam ketaatan dan kecintaan pada-Nya.
ISI RESENSI
Buku ini ditulis sebagai bentuk dakwah Habib Ja’far mengajak generasi milenial, generasi hijrah, dan kaum muslimin pada umumnya untuk kembali pada ajaran Islam yang sesungguhnya. Buku ini mengajak pembaca untuk mengenal dakwah islam yang serat akan nafas cinta, kasih, dan penuh lemah lembut. Buku ini bukan hanya membahas mengenai dakwah islam saja, namun dikemas dengan meramu menjadi buku self development.
Buku ini dibagi dengan 4 tema yang berbeda, yaitu hijrah, Islam yang bijak, akhlak Islam, tentang toleransi, dan kebesaran Tuhan. Tema di atas merupakan respon terhadap isu-isu yang kekinian dan anak muda banget. Husein Ja’far atau yang lebih sering dipanggil Habib Husein mampu menjelaskan penjabaran fenomena ini dengan praktis namun dengan bersumber kepada kitab klasik maupun Al-Quran dan hadis.
Dimulai dengan prolog “Tuhan ada di hatimu”, Habib Ja’far mengajak kita untuk melihat hal-hal yang berada di sekitar kita sebagai tanda-tanda kehadiran dan kebesaran-Nya. Saat pandemi Covid-19 lalu tiba-tiba Ka’bah sepi. Tak ada orang tawaf. Hanya ada tukang bersih-bersih yang ditugaskan mengepel pelataran Ka’bah. Saat semua orang, sekaya apapun, bahkan para Pangeran Kerajaan Arab Saudi, dilarang ke Ka’bah lantaran pandemi. Bukan hanya Ka’bah, tapi Vatikan, dan Tembok Ratapan juga sepi. Artinya bukan hanya umat Islam, tapi umat agama lain juga seharusnya berpikiran sama bahwa sejatinya Tuhan ada di hati.
Bagian pertama, Habib Husein menjelaskan kritik kepada golongan yang sedang hijrah. Hijrah itu tidak sekedar berubah dari belum berkerudung menjadi berkerudung, dari tak berjenggot menjadi berjenggot, tapi lebih ke substansi sebagai seorang muslim. Kita harus lebih murah senyum, bersikap lebih ramah kepada orang lain, lebih maju dalam ilmu pengetahuan, dan memiliki kepekaan sosial. Di buku ini dijelaskan juga hijrah itu bukan titik (.) melainkan koma (,) karena menimba ilmu harus terus menerus. Seorang yang hijrah juga seharusnya mampu menghadapi perbedaan, tidak boleh sampai mengkafirkan yang lain. Karena perbedaan adalah rahmat dari Allah SWT, juga merupakan sunatullah. Islam adalah agama yang tegas, bukan keras.
Dalam memahami Al-Quran dan Sunnah, Habib Husein punya pernyataan yang menarik: bukanlah kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, akan tetapi berangkat dari Al-Quran dan Sunnah. Maksudnya adalah mempelajari Al-Quran dan Sunnah itu menggunakan akal dan hati, kemudian kita ajak Al-Quran dan Sunnah bersinergi dengan ruang dan zaman di mana kita hidup. Substansi inilah yang penting kita pegang sebagai seorang muslim. Penting juga untuk mencari pendakwah yang mempersatukan, bukan menceraiberaikan.
Bagian kedua, di dalam buku ini Habib Husein mengajak menyelami bagaimana islam yang bijak itu. Salah satu contoh adalah menyampaikan kebenaran yang bernilai kebaikan dengan cara yang indah. Benar saja tak cukup, ia harus bernilai kebaikan dan disampaikan dengan cara yang indah, misalnya dengan kreatif. Di bagian ini juga menyikapi tentang fenomena membela Tuhan. Perlukah? Atau jangan-jangan kita hanya membela ego kita sendiri.
Habib Husein mengajak para pembaca, bahkan khususnya anak muda agar senantiasa mengenal lebih dekat dengan Allah. Karena, sejatinya Allah selalu mengawasi kita dan tentu selalu ada di hati setiap manusia yang beriman. Husein juga mengajak kita untuk merenungkan bahwa mengapa seringkali citra Islam itu jatuh, karena seringkalinya dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat negatif. Dan ternyata, faktor yang memengaruhinya ialah bukan dari luar, namun dari umat Islamnya itu sendiri yang tidak mengimplementasikan nilai-nilai Islam dalam kehidupannya
Buku ini juga menjelaskan bahwa Islam bukan agama perang, karena Nabi Muhammad SAW hanya 1 % saja dalam hidupnya melakukan perang, 99% sisanya Nabi berdakwah dengan kasih sayang dan menegakkan akhlak yang agung. Perang dalam Islam hanya bersifat defensif (bertahan), artinya fitrah manusia itu sebenarnya membenci peperangan. Peperangan sendiri hanya dilakukan dalam keadaan darurat dan atas izin Allah, artinya perang hanya boleh dilakukan jika Allah perintahkan.
Berikutnya pada bagian ketiga Habib Husein mengajak meneladani akhlak Nabi Muhammad SAW. Nabi diutus oleh Allah SWT untuk menyempurnakan akhlak. Kalau ada seseorang yang membawa nama Islam akan tetapi jauh dari akhlak nabi, maka dia itu ikut siapa? Nabi dahulu sibuk mempersatukan yang beda, mengapa sekarang banyak yang mengkafirkan, menyesatkan, membid’ahkan sesama muslim? Hal ini tentunya menjadi bahan renungan untuk kita semua. Perkara akhlak, kita juga harus dapat mengolah informasi yang berisi berita hoaks. Kita harus benar-benar menelusuri kabar yang datang kepada kita, entah itu melalui lisan atau smartphone. Harus haqqul yaqin, benar-benar yakin, bukan hoaks-qul yaqin atau yakin pada hoaks hanya karena malas ngecek sumber berita atau lantaran kabar itu menguntungkan kita.
Bagian keempat, menjabarkan tentang toleransi. Banyak pendapat yang menjabarkan tentang hukum musik, namun yang lebih ditekankan adalah menghargai perbedaan pendapat tentang musik. Saya sendiri setuju dengan uraian Habib Husein, bahwa apabila musik membawa nilai-nilai luhur: kemanusiaan, perdamaian, ketulusan cinta, kesetiaan, dan lain-lain, itu termasuk musik yang baik dan hukumnya halal. Kenyataannya musik pernah dijadikan media dakwah oleh Sunan Bonang. Sebagai sebuah media, musik tidak bisa dihukumi apa-apa. Begitu pula film yang diharamkan sebagian kecil umat islam, karena dalam bioskop tak ada tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan sehingga mengakibatkan mereka saling menatap dan bebas berinteraksi. Habib Husein sendiri memandang film halal atau haram tersebut dari substansinya.
Islam diturunkan untuk menjadi solusi, bukan menambah permasalahan baru. Oleh karena itu, seharusnya kita tidak mempersulit diri sendiri apalagi orang lain. Islam itu sudah pasti moderat, yaitu berlaku adil dan pertengahan, tidak berat sebelah.
Bagian terakhir membahas tentang kebesaran Tuhan. Kita ada bukan karena diri sendiri tapi lantaran diciptakan oleh yang Maha-ada, yakni Allah. Kita dalah bayangan dari keberadaan Allah. Oleh kaena itu kita diajarkan ketika melihat manusia yang baik, alam yang indah, peristiwa yang dahsyat, maka tugas kita adalah berdzikir pada Allah: Mahasuci Allah. Habib Husein juga menjelaskan bahwa dalam perkara iman, bukan Tuhan yang tidak menampakkan Dzat-Nya, melainkan diri kita yang pada akhirnya mau beriman atau ingkar.
KELEBIHAN BUKU
Buku ini menjelaskan tentang berbagai hal; hijrah, akhlak islam, dan Islam itu sendiri menurut Habib Husein Ja’far Al-Hadar dimana, itu semua dibawakan dengan sangat friendly dan mudah dipahami. Buku yang bisa kita semua jadikan refleksi, membuka pikiran kita tentang beberapa hal dari sudut pandang Islam. Tidak menggunakan bahasa yang sulit, mengalir saja membaca ini, asyik tanpa jeda, seperti mendengarkan ceramah. Buku ini memiki design yang berwarna, dan kutipan bergambar setiap halamannya. Ukuran dan style font huruf yang digunakan juga memanjakan mata, tidak membosankan.
KEKURANGAN BUKU
Buku ini mengganti cover buku awal menjadi cover terbaru, sehingga membuat para pembaca sedikit kebingungan saat ingin membeli buku ini. Isi dari burku ini juga mendapat tambahan satu bagian setelah cover diganti. Sebelumnya memang ada informasi dari penulis tetapi tidak disampaikan secara luas, hanya diberitahukan melalui akun sosial media penulis.
PENUTUP
Buku ini bagus untuk dibaca oleh anak-anak muda generasi milenial, gen Z, generasi hijrah, dan masyarakat umum yang ingin mengetahui tentang islam lebih dalam. Buku ini dapat digunakan sebagai bahan pengembangan diri, bagaimana cara kita bertindak sebagai Umat Muslim yang baik. Habib Husein menuliskan buku ini dengan cermat, detail dan mendalam untuk meluruskan pandangan tentang Islam dan permasalahan-permasalahan yang berada di sekitar kita.