Samurai, Sejarah dan Perkembangan

  1. Identitas Buku
    1. Judul Buku : Samurai, Sejarah dan Perkembangan
    2. Penulis : H. Paul Varley
    3. Penerbit : Komunitas Bambu
    4. Tebal buku : 186 halaman
    5. Tahun terbit : Agustus 2008

 

  1. Isi Buku

Buku Samurai ini dijelaskan secara singkat bagaimana awal terbentuknya hingga perkembangan tradisi hingga ketika kedatangan orang Amerika dan menyebabkan Restorasi Meiji, membuat peran samurai di Jepang menggulingkan keshogunan Tokugawa dan membuat peran kaisar di Jepang lebih terlihat dan menyamakan golongan samurai sebagai golongan setara dengan masyarakat sosial penduduk Jepang di akhir abad ke-20.

Berawal dari adanya bukti sejarah pada abad ke-4 di temukan tombak, pedang, belati, perisai, baju zirah, helm, busur dan anak panah beserta wadahnya. Selain itu ditemukan makam dan arca yang diduga pada saat itu adalah milik dari kelas ksatria di Jepang, arca ini disebut haniwa, atau ksatria haniwa yang memudar pada abad ke-6 akibat pengaruh dari Cina. Selanjutnya pada masa Heian (794-1185 M), muncullah kaum samurai yang diakibatkan istana Jepang yang semakin kehilangan pendapatan pajak dikarenakan banyak tanah jatuh ke tangan pribadi, membuat istana mengurangi sebagian besar pegawai administrasi dan juga harus mentrasfer tanggung-jawab untuk menjaga ketertiban di provinsi pada militer lokal.

Tradisi samurai ini ada karena rakyat berpikir tidak mungkin bergantung pada pemerintah pusat untuk mencari dukungan secara keamanan dan di sisi lain keluarga provinsional atau yang memegang kendali di tanah mereka diharuskan menyusun pasukan untuk memenuhi kebutuhan kebijaksanaan dan pertahanan mereka. Bisa dikatakan samurai dipakai untuk sebagai pertahanan di setiap keluarga yang memang merupakan memegang kendali di wilayah itu berdasarkan klan, sehingga banyak terjadi peperangan antar klan menggunakan samurai yang setia dengan tuannya.

Tradisi samurai juga berawal (zaman Heian) dengan duel secara perorangan, apabila mereka berkelompok maka mereka pecah menjadi satu lawan satu. Hubungan samurai dengan tuannya memperoleh simbiosis mutualisme yang dimana tuannya memperoleh keamanan dan keselamatan dari samurai, samurai mendapatkan hadiah atau reward dari tuannya, tetapi disini digaris bawahi bahwa samurai dikatakan setia dengan tuannya hingga dengan nyawanya pun taruhannya.

Dalam praktiknya para samurai yang bertempur biasanya akan menyebutkan nama dan mencantumkan silsilah riwayat keluarganya dengan keberanian dan pura-pura merendah seperti contoh “Aku Yoshikiyo dari klan Minamoto, cucu Tomokiyo, mantan deputi gubernur provinsi Musashi dan putra Yorikiyo yang termashyur dalam berbagai pertempuran di wilayah utara. Aku sendiri bukan siapa-siapa dan aku tidak peduli apakah aku hidup atau mati di pertempuran ini. Jadi, jika ada dari kalian yang ingin menguji kekuatan lenganku, majulah sekarang.”

Menjadi samurai itu berarti harus patuh kepada tuannya dan orang yang dipatuhi dengan tidak mementingkan diri sendiri bahkan dalam peperangan harus meninggalkan cinta dunia dan fokus pada peperangan, itu yang ditanamkan dari samurai senior kepada yang lebih muda. Tak jarang juga hubungan samura dan tuannya seperti hubungan anak dan ayah karena mempunyai kedekatan yang setia dan khusus seperti keluarga sendiri.

Pada saat peperangan, ksatria Jepang diiringi oleh satu atau dua tukang kuda yang berjalan kaki ke medan perang, tukang kuda inii tugasnya hanya membantu tuan mereka secara personal seperti perlengkapan tuannya dan tugas lainnya, termasuk mengumpulkan kepala musuh yang diperlukan untuk identifikasi dan pembagian hadiah.

Samurai mempunyai ciri umum yaitu adalah dendam turun-menurun terhadap anggota keluarga yang membunuh anggota keluarganya sendiri yang didorong kepada: bahwa samurai sejati tidak boleh puas hidup dibawah langit yang sama dengan pembantai ayah atau tuannya. Untuk mencegah dibalas oleh musuhnya biasanya pemimpin samurai akan berusaha menangkapi dan bahkan membunuh kerabat atau pelayan dekat musuhnya setelah menghancurkan seorang musuh.

Ciri lainnya adalah tradisi bunuh diri yang dilakukan oleh Jepang yaitu salah satunya mengubur diri hidup-hidup untuk menyusul kematian tuannya, dan juga pengeluaran isi perut yang berawal dari dua tahun akhir periode masa Heian (abad ke-11/12) yaitu terjadi diantara pertempuran Taira dan Minamoto, sebutan ini disebut seppuku (pengeluaran isi perut) dengan bahasa formal dan bahasa kasarnya adalah harakiri (penyobekan isi perut). Harakiri dilakukan ketika menghindari penangkapan dalam peperangan karena menurut samurai jatuh ke tangan musuh adalah sesuatu yang sangat buruk, tidak terhormat dan terhina terutama para tawanan sering disiksa dengan musuh, dan juga untuk menebus perbuatan yang tak layak atau memalukan seperti ringannya adalah menegur tuan seseorang. Pada abad ke-17, seppuku merupakan vonis kematian yang lazim digunakan ketika dijatuhi hukuman berat. Untuk mengurangi penderitaan itu maka biasanya orang itu berjongkok rendah dengan bersila, menyobek perutnya dan mengulurkan lehernya untuk dipenggal oleh orang kedua. Tugas orang kedua ini harus ahli dalam menebas seseorang dalam posisi jongkok atau berlutut dan memerhatikan pelaku ini apabila takut melakukan seppuku maka melakukan tebasan kepala sebagai final demi menjaga kehormatan samurai seppuku dalam kematian. Seppuku menjadi resmi dam bersifat ritual di zaman Tokugawa (1600-1867). Bahkan akhir masa Tokugawa pun, terjadi seppuku yang disaksikan oleh delegasi dari Inggris yang bernama A. B. Mitford seorang sekretaris konsulat Inggris di Jepang dan menulisnya dalam Tales of Old Japan yang dilakukan pada tahun 1868.