RESENSI BUKU MENUNGGU BEDUG BERBUNYI – DWI HANDAYANI

IDENTITAS BUKU

 Judul Buku                    :  Menunggu Beduk Berbunyi

Penulis                           :  Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

Editor                              :  Dharmadi

Ilustrator Sampul       :  Aghnia Octaviany

Desain Sampul            :  Tutik DS

Tahun Terbit                :  Cetakan Pertama 2017

Jumlah Halaman         :  118 halaman

Ukuran Buku                :  18,3 cm

Genre                             :  Novel Religi

Penerbit                        :  Gema Insani

ISBN                                :  978-602-250-384-2

Harga Buku                   :  Rp. 52.000

SINOPSIS BUKU

                 Menunggu Beduk Berbunyi adalah kumpulan novelet yang sangat menarik yang ditulis oleh Hamka. Tempatnya di Minang, Hindia-Belanda Buku ini mencakup dua novelet. Pertama, “Dijemput Mamak”, dan kedua, “Menunggu Beduk Berbunyi”. Dengan gaya penulisan Hamka yang menonjolkan gaya Melayu, kisahnya semakin seru dan kental dengan nuansa Minang.

Pada novelnya yang berjudul “Dijemput Mamak”, Hamka menceritakan bagaimana perjuangan suami istri untuk mempertahankan rumah tangganya dalam keadaan ekonomi yang sangat sederhana. Musa sebagai kepala keluarga diremehkan, diejek dan disindir oleh keluarga istrinya karena kemelaratannya sehingga ia memutuskan untuk pergi merantau. Rumah tangga Musa dan Ramah hidup bahagia dan tenang di perantauan meskipun keadaan keuangan mereka terbatas. Mereka tidak ingin pulang ke kampung karena mereka tetap nyaman hidup di rantau, meskipun mereka tinggal di rumah petak kecil dengan hidup serba kekurangan. Setelah 3 tahun merantau mereka memiliki anak bernama Fauzi. Kebahagiaan mereka bertambah, namun dalam kesehariannya bermunculan fitnah yang mengatakan bahwa Musa sering melakukan KDRT dan tidak bertanggung jawab kepada istri dan anaknya. Mendengar berita demikian, keluarga istrinya naik pitam dan kecewa kepada Musa. Keluarga istrinya pun mengadakan rapat yang kemudian akan mendatangkan mamak ke tempat perantauan mereka untuk menjemput Ramah dan anaknya. Ramah menolaknya karena tidak ingin merasakan lagi bagaimana rasanya disindir, dicemooh dan dikucilkan. Musa pun akhirnya merelakan istri dan anaknya agar pulang ke kampung tanpa Musa. Musa tak ingin anaknya kekurangan kasih sayang dan anaknya tumbuh tanpa orangtua yang lengkap. Sebelum pergi, Ramah memberitahu Musa agar tidak diceraikan. Beberapa lama kemudian datanglah sepucuk surat yang dibawa oleh teman Musa yang bernama Samah. Surat tersebut berisikan bahwa Rahma telah bercerai dengan Musa karena dorongan dan paksaan dari keluarga besarnya.

Pada novelnya yang berjudul “Menunggu Beduk Berbunyi”, Hamka menceritakan tentang Tuan Sharif, seorang mantan pejuang kemerdekaan yang memilih bekerja sebagai pegawai pemerintahan kolonial Hindia Belanda karena tak sanggup menghadapi kerasnya hidup sebagai pejuang. Demi menghindari penderitaan dan demi menghidupi keluarganya, ia merantau ke Deli/Siantar dan bekerja di bawah pemerintahan penjajah. Namun keputusan itu menimbulkan pergolakan batin yang mendalam. Tuan Sharif terjebak antara idealisme membela tanah air dan kenyataan hidup yang menuntut kenyamanan ekonomi. Ia sadar bahwa pilihannya telah membuatnya dicap sebagai pengkhianat bangsa, bahkan dibenci oleh rakyat dan anaknya sendiri, Arsil, yang juga seorang pejuang kemerdekaan. Puncak pertentangan digambarkan dalam sebuah surat dari Arsil kepada ayahnya, penuh dengan nada kecewa dan kemarahan. Arsil merasa dikhianati oleh sang ayah, yang dulu ikut berjuang, namun akhirnya menyerah demi kenikmatan duniawi. Surat itu menyuarakan konflik moral dan generasi dalam menghadapi penjajahan dan perjuangan. Momen perubahan terjadi saat Tuan Sharif mendengar khutbah Jumat yang menggunakan perumpamaan puasa sebagai simbol kesabaran dan keteguhan iman. Khatib berkata, seperti orang yang membatalkan puasa karena tak tahan menunggu beduk berbunyi, begitu pula orang yang menyerah pada perjuangan sebelum kemenangan diraih, maka sia-sialah semua pengorbanan sebelumnya. Khutbah itu menyentuh hati Tuan Sharif dan menyadarkannya akan kesalahan besar yang telah ia buat. Ia merasa dirinya seperti orang yang “tidak sabar menunggu beduk berbunyi”—menyerah sebelum waktu kemenangan tiba.

KELEBIHAN BUKU

                 Novelet karya Hamka ini dikemas dengan menarik dan sangat ringkas, hanya ada 118 halaman. Sangat cocok dijadikan bacaan yang bisa mengisi waktu luang pembaca di tengah rutinitas yang padat. Tak hanya sekadar memberi penyegaran dari kisah yang tersaji, tapi juga hikmah kehidupan yang sangat bermanfaat untuk dijadikan pelajaran. Alur cerita yang dibawakan dapat membuat pembacanya seakan-akan melihat kejadiannya sendiri, sehingga dapat menggugah perasaan pembacanya. Buku ini juga memotivasi pembacanya bahwa cinta sejati itu tidak memandang harta dan tahta, melainkan tentang ketulusan. Novel ini juga penuh nasehat moral dan keagamaan bagi para pembacanya, seperti:

  • Konsistensi dalam perjuangan
  • Bahaya menyerah pada kenyamanan sesaat
  • Konflik batin antara idealisme dan realitas
  • Pentingnya kesabaran dalam menghadapi ujian hidup dan perjuangan

KEKURANGAN BUKU

                 Novel ini menyuguhi konflik yang terlalu banyak dalam cerita. Alurnya cukup singkat, sehingga beberapa karakter terasa kurang tergali secara mendalam.