RESENSI BUKU ART OF WAR – RANI BATAVIA

Resensi Buku “Art of War”

Identitas Buku

Judul Buku                  : Art of War (Seni Berperang)

Penulis                        : Sun Tzu

Penerjemah                : Adhe Ma’ruf

Asal Bahasa                : Mandarin Klasik

Tahun Terbit               : 2025 (Asli teks pada Abad ke-5 SM)

Penerbit                       : Shira Media

Jumlah Halaman         : xii+120 Halaman

Genre                          : Filsafat, Strategi, Militer, Kepemimpinan

Negara Asal                : Tiongkok

ISBN                           : 978-602-7760-76-9

 

Isi Buku:

Di dalam buku ini, Sun Tzu yang merupakan Jenderal dan ahli strategi militer pada di akhir masa Dinasti Zhou sekitar tahun 500-an SM, membagi The Art of War menjadi 13 bab yang masing-masing membahas aspek strategi dan taktik peperangan, tetapi dapat diterapkan juga dalam kehidupan, bisnis, maupun politik modern. Buku ini membahas bagaimana cara menghadapi musuh dengan keahliannya yang mumpuni.

Didalam Bab 1 (Rencana Strategi) yaitu Sun Tzu memulai dengan dasar utama peperangan: perencanaan dan penilaian awal. Ia menyebut ada lima faktor dasar yang harus diperhitungkan sebelum perang:

  1. Moral (, Tao) – keselarasan antara pemimpin dan rakyat.
  2. Cuaca (, Heaven) – musim, waktu, dan kondisi lingkungan.
  3. Medan (, Earth) – jarak, keadaan medan, dan posisi strategis.
  4. Pemimpin (, Commander) – kebijaksanaan, keberanian, dan integritas.
  5. Metode dan Disiplin (, Method & Discipline) – organisasi, logistik, dan pengendalian pasukan.

Sun Tzu menekankan bahwa perencanaan bukan hanya soal menghitung kekuatan, tetapi menilai kondisi diri sendiri dan musuh secara objektif. Dalam prinsipnya dikenal bahwa apabila seseorang mampu mengenali dirinya sendiri dan musuhnya, itu membuat orang itu mudah untuk melawan musuh itu. Sun Tzu memperkenalkan konsep perencanaan sebagai tindakan rasional yang mendahului peperangan. Ia menjelaskan bahwa perang bukanlah tindakan emosional atau spontan, melainkan hasil dari kalkulasi mendalam terhadap berbagai faktor  baik yang dapat diukur (materi) maupun yang bersifat moral dan psikologis. Sun Tzu kemudian memperkenalkan metode analisis melalui perbandingan antara diri sendiri dan musuh, agar dapat memprediksi siapa yang akan menang.

Ia menuliskan serangkaian pertanyaan strategis yang harus dijawab oleh pemimpin:

  1. Siapa yang memiliki moralitas dan kepercayaan lebih tinggi?
  2. Siapa yang memiliki pemimpin yang lebih bijak dan berpengalaman?
  3. Siapa yang menguasai kondisi cuaca dan medan lebih baik?
  4. Siapa yang pasukannya lebih disiplin dan terlatih?
  5. Siapa yang memiliki strategi dan aturan lebih jelas?
  6. Siapa yang lebih cepat dan tepat dalam memberi perintah?

Dengan membandingkan faktor-faktor ini, pemimpin dapat memperkirakan peluang kemenangan tanpa harus mengorbankan banyak sumber daya.Bagi Sun Tzu, pengetahuan dan perencanaan yang baik adalah bentuk kemenangan pertama, bahkan sebelum pertempuran dimulai.

Pada Bab 2 yaitu tentang memulai peperangan, Sun Tzu menekankan pentingnya perencanaan dan penilaian sebelum perang, pada Bab 2 ini ia membahas tahapan awal ketika perang benar-benar dimulai. Bab ini berfokus pada manajemen sumber daya, biaya perang, logistik, dan dampak panjang peperangan terhadap negara, rakyat, dan moral pasukan. Sun Tzu mengingatkan bahwa perang, bila tidak dikelola dengan bijak, akan menjadi beban besar yang melemahkan negara sendiri. kemenangan sejati bukan hanya tentang mengalahkan musuh, tetapi juga tentang menang secepat mungkin dengan kerugian sekecil mungkin  baik dari sisi manusia, ekonomi, maupun moral. Bab 2 mengandung filsafat ekonomi, moralitas, dan kemanusiaan. Sun Tzu ingin menunjukkan bahwa perang adalah kejahatan yang perlu  tetapi hanya boleh dilakukan jika semua cara damai telah gagal.  Bab ini dengan jelas menggambarkan Sun Tzu sebagai pemikir strategis yang lebih menekankan akal dan efisiensi dibandingkan brutalitas militer.

Di dalam Bab 3 yaitu Menyerang dengan strategi, maksudnya adalah menekankan bahwa kemenangan terbaik adalah memenangkan perang tanpa bertempur. Sun Tzu berpendapat bahwa menghancurkan musuh sepenuhnya bukanlah bentuk kemenangan sejati; yang tertinggi adalah menaklukkan lawan melalui strategi, diplomasi, dan kecerdikan. Ia menegaskan empat tingkatan kemenangan:

  1. Tingkat tertinggi: Menaklukkan musuh tanpa perang (melalui strategi dan negosiasi).
  2. Tingkat kedua: Mengalahkan musuh melalui taktik dan manuver.
  3. Tingkat ketiga: Menyerang pasukan musuh secara langsung.
  4. Tingkat terendah: Mengepung dan menghancurkan kota musuh (karena memakan waktu, sumber daya, dan korban besar).

Sun Tzu juga melihat pentingnya mengetahui kapan harus menyerang dan kapan menahan diri. Ia mengatakan bahwa pemimpin terbaik adalah yang mampu menggunakan akal, bukan amarah; strategi, bukan kekuatan.

Di dalam Bab 4 yaitu Disposisi pasukan, menjelaskan bagaimana seorang pemimpin harus mempersiapkan diri untuk tidak bisa dikalahkan, bahkan sebelum menyerang. Sun Tzu menegaskan bahwa kemenangan lahir dari kesiapan dan pertahanan yang sempurna, bukan semata dari keberanian menyerang. pertahanan yang kuat membuat kekalahan mustahil, sedangkan serangan yang tepat waktu membawa kemenangan.
Pemimpin bijak tidak bergantung pada keberuntungan, melainkan pada strategi, pengetahuan, dan kesiapan pasukan. Sun Tzu juga menekankan pentingnya menilai situasi, mengenal kekuatan sendiri, dan tidak meremehkan musuh. Dengan begitu, seorang jenderal dapat mengatur posisi (disposisi) pasukannya agar selalu dalam keadaan aman dan siap bertindak.

Di dalam Bab 5 yaitu Energi, membahas bagaimana seorang pemimpin harus mengatur dan memanfaatkan energi pasukannya secara efisien. Sun Tzu menekankan bahwa kemenangan tidak hanya bergantung pada kekuatan fisik, tetapi pada kemampuan mengelola sumber daya, waktu, dan semangat prajurit.

Ia membedakan dua jenis kekuatan:

  1. Kekuatan langsung (zheng) – tindakan atau serangan terbuka yang terlihat jelas.
  2. Kekuatan tidak langsung (qi) – taktik tersembunyi, tipu daya, dan kejutan yang tidak terduga.

Kombinasi antara keduanya menciptakan dinamika strategi yang membuat musuh sulit menebak langkah berikutnya. Sun Tzu menekankan bahwa pemimpin bijak tahu kapan harus hemat energi dan kapan harus melepaskan kekuatan penuh.

Di dalam Bab 6 yaitu menjelaskan bahwa kemenangan diraih dengan menemukan celah kelemahan musuh dan menyembunyikan kelemahan sendiri. Sun Tzu menegaskan bahwa pemimpin cerdas menyerang di tempat musuh tidak siap dan muncul di tempat yang tak terduga. Ia mengajarkan agar strategi selalu fleksibel dan berubah sesuai situasi, karena dalam perang tidak ada bentuk yang tetap  seperti air yang menyesuaikan diri dengan wadahnya. Memahami musuh lebih dalam dari dirinya sendiri, ubah arah ketika perlu, sembunyikan niat sebenarnya, dan gunakan kekuatan hanya di waktu paling tepat— tulah rahasia dominasi tanpa perlawanan.

Di dalam Bab 7 yaitu Manuver, membahas seni menggerakkan pasukan dan menyesuaikan strategi di medan perang. Sun Tzu menekankan bahwa mengatur pasukan di lapangan jauh lebih sulit daripada merencanakan di awal, karena kondisi nyata sering berubah cuaca, moral prajurit, dan reaksi musuh tidak selalu dapat diprediksi. Ia mengajarkan bahwa pemimpin harus lincah, sabar, dan tidak gegabah dalam memindahkan pasukan. Kelelahan, kelaparan, atau salah langkah sekecil apapun bisa membawa kehancuran. Karena itu, komunikasi, disiplin, dan pemahaman medan sangat penting agar pasukan tetap solid dan terarah. Sun Tzu juga menekankan perlunya mengelabui musuh melalui perubahan arah, kecepatan, dan formasi agar lawan bingung dan salah bereaksi. Manuver bukan hanya soal pergerakan fisik, tetapi juga permainan psikologis untuk menekan mental musuh. Kemenangan bukan hanya ditentukan oleh strategi awal, tetapi oleh kemampuan pemimpin beradaptasi, menjaga moral, dan mengatur langkah secara cerdas di tengah perubahan situasi.

Di dalam Bab 8 yaitu Variasi taktik, menekankan pentingnya keluwesan dalam strategi dan taktik perang. Sun Tzu menjelaskan bahwa pemimpin yang bijak tidak terpaku pada satu cara atau aturan tetap, karena kondisi di medan pertempuran selalu berubah. Taktik yang berhasil hari ini bisa gagal besok jika situasinya berbeda. Ia menegaskan bahwa menyesuaikan strategi dengan waktu, tempat, dan musuh adalah kunci kemenangan. Pemimpin harus tahu kapan harus maju atau mundur, kapan menipu atau menyerang secara langsung. Ketidakmampuan beradaptasi membuat pasukan mudah ditebak dan akhirnya dikalahkan. Sun Tzu juga memperingatkan agar pemimpin tidak keras kepala pada rencana awal. Ia menilai bahwa kebijaksanaan sejati adalah kemampuan membaca keadaan dan meresponsnya dengan tepat tanpa emosi. Kemenangan diraih bukan hanya karena kekuatan, tetapi karena kemampuan beradaptasi, fleksibilitas berpikir, dan kepekaan terhadap perubahan situasi.

Di dalam Bab 9 yaitu Berjalan di medan, membahas bagaimana seorang pemimpin harus memahami tanda-tanda alam, kondisi pasukan, dan situasi musuh saat bergerak di medan perang. Sun Tzu menekankan bahwa membaca lingkungan dengan cermat seperti bentuk tanah, arah angin, debu, suara, dan perilaku hewan dapat mengungkap posisi dan kekuatan lawan. Ia juga menjelaskan bahwa kesejahteraan dan semangat prajurit harus dijaga selama perjalanan. Pasukan yang lapar, lelah, atau bingung arah akan kehilangan disiplin dan mudah dikalahkan. Karena itu, pemimpin harus tahu kapan beristirahat, kapan bergerak cepat, dan kapan menghindari pertempuran. Selain itu, Sun Tzu memperingatkan tentang tanda-tanda musuh yang berpura-pura lemah atau kuat agar pemimpin tidak terjebak pada tipu daya. Mengamati dengan tajam dan berpikir sebelum bertindak menjadi kunci agar strategi tidak jatuh ke dalam perangkap. Bab ini mengajarkan bahwa pemahaman medan, kondisi pasukan, dan intuisi terhadap gerak musuh adalah fondasi utama untuk menjaga kekuatan dan menghindari kesalahan fatal di tengah perjalanan perang.

Di dalam Bab 10 yaitu Medan, menjelaskan bahwa jenis medan perang sangat menentukan strategi dan hasil pertempuran. Sun Tzu mengelompokkan medan menjadi beberapa tipe mudah dilalui, berbahaya, sempit, curam, dan jauh dari sumber logistik  masing-masing menuntut pendekatan taktis yang berbeda. Ia menegaskan bahwa pemimpin bijak harus menyesuaikan langkah dengan kondisi tanah dan posisi musuh. Medan yang sama bisa menjadi keuntungan atau bencana, tergantung pada seberapa baik seorang jenderal memanfaatkannya. Karena itu, mengenali lokasi, arah, dan rute mundur adalah bagian penting dari perencanaan. Sun Tzu juga menyoroti hubungan antara moral pasukan dan kondisi geografis. Jika prajurit berada di tempat yang sulit, tetapi percaya pada pemimpinnya, mereka tetap bisa menang. Namun di medan yang menguntungkan sekalipun, pasukan tanpa semangat akan mudah kalah. Bab ini mengajarkan bahwa pemahaman medan, kemampuan beradaptasi, dan kepemimpinan yang kuat menentukan keberhasilan strategi karena kemenangan sejati diraih dengan menguasai lingkungan, bukan hanya musuh.

Di dalam Bab 11 yaitu Sembilan Situasi, membahas sembilan jenis kondisi perang yang masing-masing membutuhkan strategi berbeda. Sun Tzu menggambarkan tahap-tahap pertempuran mulai dari saat pasukan baru memasuki wilayah musuh hingga berada di titik hidup-mati. Setiap situasi menuntut cara berpikir, pengaturan pasukan, dan keputusan taktis yang tepat agar tidak terjebak dalam kekacauan. Ia menegaskan bahwa pemimpin sejati mampu menilai kapan harus berhati-hati dan kapan harus menyerang dengan penuh keberanian. Dalam kondisi terjepit, misalnya, pemimpin harus membangkitkan semangat tempur dengan membuat pasukan merasa tidak ada pilihan selain menang. Sebaliknya, di medan yang aman, ia harus mencegah rasa lengah agar disiplin tetap terjaga. Sun Tzu juga menekankan pentingnya membaca psikologi pasukan dan musuh. Dengan memahami ketakutan, kelelahan, dan motivasi manusia, seorang jenderal dapat mengubah situasi berbahaya menjadi kemenangan. Bab ini mengajarkan bahwa strategi harus disesuaikan dengan kondisi lapangan dan keadaan emosional pasukan, karena kemenangan ditentukan oleh kemampuan pemimpin mengendalikan situasi, bukan sekadar kekuatan senjata.

Di dalam Bab 12 yaitu Serangan dengan api, membahas strategi menggunakan api sebagai senjata untuk menghancurkan kekuatan dan moral musuh. Sun Tzu menjelaskan bahwa api dapat dipakai dengan lima cara: membakar pasukan, perbekalan, gudang logistik, perlengkapan, dan posisi lawan. Tujuannya bukan hanya menghancurkan fisik, tetapi juga mengacaukan pikiran dan semangat musuh. Ia menekankan bahwa penggunaan api harus mempertimbangkan waktu, angin, dan cuaca, karena api yang tidak terkendali bisa merugikan pasukan sendiri. Serangan terbaik dilakukan saat kondisi alam mendukung dan ketika musuh belum siap. Sun Tzu menggunakan api sebagai lambang energi destruktif yang harus dikelola dengan kebijaksanaan. Api bisa menjadi alat kemenangan jika dikendalikan, tetapi menjadi bencana bila dipicu oleh amarah atau keserakahan. Bab ini mengajarkan bahwa kekuatan besar harus digunakan dengan perhitungan dan keseimbangan, karena kemenangan sejati datang dari kendali dan waktu yang tepat, bukan dari kehancuran membabi buta.

Di dalam Bab 13 yaitu Penggunaan mata-mata, menekankan bahwa pengetahuan adalah senjata paling ampuh dalam perang. Sun Tzu menyatakan bahwa tidak ada kemenangan tanpa informasi yang akurat tentang musuh, dan informasi itu hanya bisa diperoleh melalui mata-mata yang terlatih dan terpercaya. Ia membagi mata-mata menjadi lima jenis: mata-mata lokal (orang dari wilayah musuh), mata-mata dalam (pegawai atau pejabat musuh), mata-mata ganda (yang berperan di dua pihak), mata-mata mati (yang dikorbankan untuk memberi informasi palsu), dan mata-mata hidup (yang kembali dengan laporan penting). Setiap jenis memiliki peran berbeda, tetapi semuanya bertujuan untuk membingungkan dan melemahkan musuh dari dalam. Sun Tzu menegaskan bahwa mata-mata bukan hanya alat taktik, tetapi simbol kebijaksanaan dan antisipasi. Pemimpin besar menang bukan karena kekuatan pasukannya, melainkan karena ia tahu segalanya lebih dulu. Bab ini mengajarkan bahwa informasi, kerahasiaan, dan kecerdikan intelijen adalah fondasi kemenangan karena musuh yang tidak tahu rencanamu sudah kalah sebelum bertarung.

Dari Keseluruhan BAB ini bahwa Sun Tzu menekankan kepada diplomsai dibanding perang karena akan merugikan baik kawan ataupun juga musuh dan perang tidak ada artinya kecuali kalau keadaan tidak bisa memakai diplomasi maka jalan terakhir yaitu adalah perang. Akan tetapi, dengan adanya perang ini seseorang harus memahami antar sesame manusia, keadaan lingkungan saat berperang bahkan melakukan apapun untuk menyingkirkan musuh secara total dengan mengenali dirinya sendiri maupun musuh agara mudah melakukan penyerangan. Selain secara psikologis, seseoang harus mengenali latar tempat dan waktu untuk meningkatkan peluang kemenangan. Seseorang harus menggunakan akal secara sadar dan sehat dan tidak mementingkan ego untuk berperang agar dapat memikirkan strategi untuk melawan musuh secara jelas.

Kelebihan Buku:

  1. Walau ditulis ribuan tahun lalu, prinsipnya masih relevan di dunia modern (bisnis, politik, manajemen, psikologi).
  2. Setiap kalimat mengandung nasihat strategis yang dalam.
  3. Memberi pelajaran tentang kepemimpinan, ketenangan, dan perencanaan matang.
  4. Bisa diaplikasikan dalam berbagai bidang, bukan hanya peperangan.
  5. Mengajarkan pengendalian diri, kebijaksanaan, dan efisiensi.

Kerkurangan Buku:

  1. Sulit dipahami tanpa penjelasan atau konteks sejarah terutama sejarah Tiongkok yang panjang, jadi lebih memahami kalau dari awal tahu konteks sejarahnya
  2. Tidak ada ilustrasi atau kasus nyata dalam teks aslinya.
  3. Beberapa bab terlalu teknis tentang perang bagi pembaca umum.
  4. Makna bisa berbeda tergantung siapa penerjemahnya.
  5. Gaya tulisannya ada yang sulit dipahami dan bukan narasi, sehingga terasa kaku bagi pembaca modern.